ORGANISASI
BUDI UTOMO
Organisasi Budi Utomo (BU) didirikan
pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIAdi Batavia dengan Sutomo
sebagai ketuanya. Terbentuknya organisasi tersebut atas ide dr.Wahidin
Sudirohusodo yang sebelumnya telah berkeliling Jawa untuk menawarkan idenyamembentuk
Studiefounds. Gagasan Studiesfounds bertujuan untuk menghimpun dana
gunamemberikan beasiswa bagi pelajar yang berprestasi, namun tidak mampu
melanjutnya studinya.Gagasan itu tidak terwujud, tetapi gagasan itu melahirkan
BU.
Tujuan BU adalah
memajukan pengajaran dan kebudayaan.Tujuan tersebut ingin dicapai dengan
usaha-usaha sebagai berikut:
1) memajukan pengajaran;
2) memajukan pertanian, peternakan
dan perdagangan;
3) memajukan teknik dan industry
4) menghidupkan kembali
kebudayaan.Dilihat dari tujuannya,
BU bukan merupakan organisasi
politik melainkan merupakan organisasi pelajar dengan pelajar STOVIA
sebagai intinya. Sampai menjelang kongresnya yang pertama diYogyakarta telah
berdiri tujuh cabang BU, yakni di Batavia, Bogor, Bandung, Magelang,Yogyakarta,
Surabaya, dan Ponorogo. Untuk mengonsolidasi diri (dengan dihadiri 7
cabangnya),BU mengadakan kongres yang pertama di Yogyakarta pada tanggal 3-5
Oktober 1908.
Kongresmemutuskan hal-hal sebagai
berikut.
1) BU tidak ikut dalam mengadakan
kegiatan politik.
2) Kegiatan BU terutama ditujukan
pada bidang pendidikan dan kebudayaan.
3) Ruang gerak BU terbatas pada
daerah Jawa dan Madura.
4) Memilih R.T. Tirtokusumo, Bupati
Karanganyar sebagai ketua.
5) Yogyakarta ditetapkan sebagai
pusat organisasi.Sampai dengan akhir tahun 1909,
telah berdiri 40 cabang BU dengan
jumlah anggota mencapai10.000 orang. Akan tetapi, dengan adanya kongres
tersebut tampaknya terjadi pergeseran pimpinan dari generasi muda ke
generasi tua. Banyak anggota muda yang menyingkir dari barisan depan, dan
anggota BU kebanyakan dari golongan priayi dan pegawai negeri. Dengandemikian,
sifat protonasionalisme dari para pemimpin yang tampak pada awal berdirinya
BUterdesak ke belakang. Strategi perjuangan BU pada dasarnya bersifat kooperati
Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota. Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting.